Kamis, 20 Oktober 2016

Mengukir Sejarah Seperti Jack Ma


Ikuti
Jack Ma via www.asianentrepreneur.org
Media seakan tidak pernah bosan mengupas fenomena initial public offering (IPO) Alibaba.com yang memecahkan rekor dunia sebagai IPO terbesar sepanjang sejarah. Dunia maya pun ramai bercerita tentang Alibaba dan sang pendirinya, Jack Ma, sebagai perusahaan raksasa internet Tiongkok yang mengguncang dunia. Mengapa hal ini begitu dielu-elukan, sementara rekor IPO yang sebelumnya dipecahkan oleh raksasa kartu kredit Visa (2006) atau Agricultural Bank of China (2010) nggak heboh banget?

Saya yakin, jika pemilik Alibaba adalah Li Ka-Shing atau cucunya Rockefeller, respon masyarakat tak sebegitu ramai. Alibaba menjadi fenomena, karena Jack Ma hanya seorang mantan guru Bahasa Inggris yang baru merintis perusahaan eCommerce di usia ke-35. Padahal dulu gajinya hanya $20 per bulan, dan lamaran kerjanya sempat ditolak oleh Kentucky Fried Chicken. Namun kini Jack Ma menjadi orang terkaya di Tiongkok dengan nilai perusahaan melebihi US$ 166 Miliar. Jack Ma menjadi underdog yang menang, and everybody loves a winning underdog story.
Sejak dulu, cerita fakta ataupun fiksi mengenai winning underdog selalu menarik. Kita lihat cerita David dan Goliath, Cinderella, Rocky, Steve Jobs, Si Anak Singkong Chairul Tanjung, hingga Jack Ma. Mengapa ini menarik?
Cerita ini mengandung unsur keterkejutan, dramatis, dan bisa menginspirasi. Namun bagi saya, cerita tentang keberhasilan underdog menarik hati karena semua orang pasti merasa jika mereka juga bagian yang terlupakan. Jack Ma menjadi inspirasi karena kita juga memiliki kesamaan sebagaiunderdog, entah karena terlambat memulai, berasal dari keluarga miskin, memulai karir yang tak layak, atau tak memiliki kompetensi di bidang yang digeluti.
Lalu muncul sebuah optimisme diri jika kita pasti bisa sesukses Jack Ma. Kisah ini pun memberikan sentuhan emosi dalam optimisme kita: kegagalan yang saat ini menyiksa hati akhirnya akan berbuah indah tak terperi.
Mari kita lihat realitanya: ada berapa juta orang yang menjadi guru Bahasa Inggris, dibayar lebih rendah dari $20, dan lamaran kerjanya sempat ditolak? Banyak! Tapi berapa orang yang menorehkan kesuksesan seperti Jack Ma? Satu! What makes him the winning underdog? Untuk mengetahuinya, kita harus melihatnya dari beberapa level.
Level satu, visionary underdog. Menjadi underdog yang menang harus memiliki visi yang besar! Namun, pastikan juga kalau visinya benar. Jika kita melihat kesuksesan Jack Ma hanya dari kekayaannya yang mencapai $21 Miliar, menjadi cover Forbes, diwawancara di CNBC, hingga jadi terkaya nomer wahid di Tiongkok, maka lupakan visi itu. Kita sudah kalah!
Sejarah selalu mencatat, para winning underdog tidak pernah mengejar kekayaan dan ketenaran. Jack Ma pernah menyampaikan pidato di Standford, "Sisakan saya 0,001 dari kekayaan saya saat ini, maka itu masih terlalu banyak untuk seorang Jack Ma".  Jack Ma tak pernah berupaya memiliki harta, karena dia ingin membuat satu eCommerce yang mampu bersaing secara global untuk membantu banyak UMKM di Tiongkok. Visi inilah yang selalu ia dengungkan, bahkan di surat terbuka pengunduran dirinya sebagai CEO. The winning underdog selalu berorientasi pada karya yang memberikan dampak luas.
Level dua, un-underdog underdogThe winning underdog, tidak pernah merasa menjadi underdog, walaupun realitanya begitu. Coba dengarkan apa yang Jack Ma sampaikan pada belasan timnya di awal pembentukan Alibaba. Seorang mantan guru Bahasa Inggris menyampaikan semangatnya untuk membangun satu eCommerce global raksasa yang akan mengalahkan eCommerce dari Sillicon Valley. Padahal dia tak dapat melakukan coding. Dia bicara tentang kompetisi global dan rencana IPO di sebuah apartemen kecil, padahal produknya pun belum ada. Jack Ma memiliki keyakinan dan mental 'raksasa' sejak awal. Dia adalah the winning underdog, bahkan sebelum genderang perang berbunyi.
Level tiga, the fighting underdog. Percayalah, there is no win without a fight! Jutaan orang saat ini terinspirasi oleh Jack Ma, lalu terlelap seharian dan terus bermimpi. Underdog semacam itu hanya akan menjadi pungguk yang merindukan bulan, bukannya mengumpulkan minions untuk mencuri bulan.
Di kelanjutan pidatonya di tahun 1999 itu, Jack Ma bilang, "We will have to pay the pain for the next 3-5 years; that's the only way we can succeed". Dia menanamkan etos kerja yang lebih besar, dengan siap tersiksa, untuk mencapai visi besarnya.
Jack Ma tahu medan perang apa yang dia pilih untuk bertempur, yakni internet commerce, alih-alih berjualan jangkrik aduan di pinggir terminal. Langkah selanjutnya adalah action untuk mengeksekusi strategi yang cermat. Dipadu dengan daya juang yang besar, hasilnya akanmaknyus!
Level empat, independent underdog. Kesuksesan suatu bidang memunculkan sikap latah dari orang lainnya. Ketika eCommerce berhasil, semua orang kemudian membuka usaha yang sama agar kelak bisa kaya raya seperti Jack Ma. Jika kita hanya mampu menjadi pengikut, maka kita sudah kalah sejak awal.
Underdog yang menang tidak meletakkan visinya pada cerita sukses di masa lalu, karena mereka justru mengukir masa depan. Mereka membuat sejarahnya sendiri. Karena itu kisah sukses hanya memotivasi, tapi jangan sampai menjadi indikasi. Mari kita menorehkan sendiri nama kita dalam sejarah sebagai sosok yang kita inginkan. Inilah level terakhir, the winning underdog.
"Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke bagian orang-orang yang menyembahKu. Dan masuklah ke surgaKu" (Al-Fajr : 27-30)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar