Kamis, 20 Oktober 2016

Karakter Juara Para Founder Startups (Bagian 1)






Ikuti
Startup via www.trysuitsme.com
Indonesia hari ini, sampai tahun 2035, berada dalam masa yang sangat krusial. Mengapa sangat krusial? Karena dalam periode inilah kesempatan bangsa ini untuk mengakselerasi peringkat kesejahteraan dan kewibawaannya menjadi lebih baik dapat terwujud. Bonus demografi adalah masa yang saya bicarakan itu.
Mudahnya, pada masa ini rasio orang produktif menanggung orang yang sudah tidak produktif, berada dalam titik terendah. Hal ini juga berarti bahwa orang-orang Indonesia yang berada dalamrange usia produktif berada pada titik tertingginya.
Masalahnya, produktivitas yang sangat identik dengan meningkatnya tingkat daya beli itu sering kali hanya dipersempit menjadi semakin besarnya pasar konsumsi. Terlebih lagi Indonesia sudah menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), saat liberalisasi perdagangan akan barang dan jasa semakin besar sekarang ini.
Menjadi pasar yang besar tentu dalam perspektif makro ekonomi adalah baik, mengingat akan banyak uang berputar dan secara agregatif akan meningkatkan pertumbuhan. Bertumbuh tentu baik, tetapi seberapa baik?

"Menjadi pasar yang besar tentu dalam perspektif makro ekonomi adalah baik, mengingat akan banyak uang berputar dan secara agregatif akan meningkatkan pertumbuhan"

Indonesia dengan jumlah penduduknya yang lebih dari seperempat juta jiwa tentu merupakan potensi besar, bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen.
Jumlah penduduk yang sangat besar dan kayanya keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia seharusnya dapat kita optimalkan sebagai competitive advantage. Belum lagi ketika kita bicara tingkat kreativitas anak negeri yang juga tidak kalah dengan negara-negara maju lain di dunia.
Competitive advantage tersebut harusnya dapat menciptakan multiplier effect yang lebih dahsyat mengingat perkembangan teknologi Informasi dan dukungan pemerintah akan berkembangnya industri berbasis digital di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Saat ini tercatat pengguna internet di Indonesia sudah lebih dari 104 juta jiwa dan akan bertambah sampai ke titik 144 lebih juta jiwa di tahun 2021. Perkembangan bonus demografi, yang juga berarti meningkatnya jumlah kelas menangah di Indonesia, membawa kuantitas pengguna Internet semakin melambung tinggi hingga mungkin akan berada pada titik keseimbangan baru pada akhir periode bonus demografi di tahun 2035.
Perkembangan positif macam inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh segenap elemen bangsa ini untuk menciptakan peluang lebih besar lewat ranah digital, termasuk terciptanya ribuan bahkan jutaan digital entrepreneur baru yang lahir dari tanah bumi pertiwi ini.
Jutaan digital entrepreneur baru yang lahir karena perkembangan dunia digital di Indonesia ini tentu tidak serta merta dapat dilepaskan dari peran aktif pemerintah ataupun komunitas digitalstartup yang sudah muncul lebih dahulu secara organik.
Pembentukan komunitas dan proses inkubasi terhadap bayi-bayi digital startup baru sangatlah diperlukan untuk menjaga embrio yang baru lahir ini tetap hidup dan akhirnya tumbuh juga berkembang menjadi perusahaan digital baru yang dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar untuk society.
Program gerakan 1.000 startup digital yang digagas oleh KIBAR dan Menkominfo baru-baru ini merupakan angin segar yang selayaknya diapresiasi demi mewujudkan optimalisasi bonus demografi yang kurang lebih akan mencapai titik optimumnya di tahun 2025-2035.
Menjadi seorang pendiri (founderdigital startup tentu bukan perkara mudah, mengingat 90%startup mengalami kegagalan di masa awal pendiriannya. Hal ini tentu menjadi momok, tidak hanya bagi lembaga finansial yang membiayai startup ( salah satunya adalah venture capital), tetapi juga bagi para pelaku atau calon founder yang ingin memasuki industri ini.
Untuk itulah, penting bagi para pelaku atau calon pelaku digital startup untuk memiliki beberapa kemampuan atau sikap mental ala pemenang. Beberapa diantaranya, seperti diungkapkan oleh beberapa pelaku digital startup dalam program ignition 1.000 startup digital, berikut ini:
Problem Driven
Karena euphoria  digital startup yang semakin besar belakangan ini, beberapa pelaku digital dengan gagah berani mendirikan perusahaan digital barunya hanya dengan bermodalkan skill yang ia miliki, tidak dilandasi analisis permasalahan yang ada.
Sebuah kesalahan yang cukup mendasar saya pikir. Padahal, permasalahan yang berhasil teridentifikasi merupakan market tersendiri yang dapat dimonetisasi.
Mendirikan perusahaan hanya berdasarkan skill tidaklah serta-merta menghadirkan demand  baru di dalam industri. Karena tidak adanya market/demand inilah yang sering kali akhirnya membuat embrio startup digital mengalami kegagalan di awal masa pendiriannya.

"Mendirikan perusahaan hanya berdasarkan skill tidaklah serta-merta menghadirkan demand  baru di dalam industri"

Seperti apa yang pernah dialami oleh GO-Jek, kemunculan perusahaan ini di Indonesia berangkat dari sebuah permasalahan bahwa sudah terlalu banyak tukang ojek di Indonesia, utamanya di kota-kota besar seperti Jakarta, yang memiliki tingkat kesejahteraan yang buruk.
Buruknya tingkat kesejahteraan tukang ojek itu disebabkan karena gap antara hadirnya tukang ojek yang mangkal di pangkalan ojek dengan demand dari para calon konsumennya.
Seperti kita ketahui masyarakat di kota besar sudah bosan dengan kualitas transportasi publik yang tidak kunjung membaik. Mereka juga membutuhkan kecepatan untuk mengatasi macet, dan tidak jarang juga diantara mereka yang memiliki tingkat price sensitivity cukup tinggi.
Untuk itulah kehadiran tukang ojek pangkalan sangat relevan untuk mengatasi permasalahan ini. Masalahnya adalah ketika demand akan tukang ojek pangkalan itu datang, pengemudi ojek yang dinanti tidak kunjung hadir mengingat lokasi pangkalan ojek yang jauh dari lokasi calon pengguna (konsumen).
Permasalahan inilah yang kemudian dilihat sebagai opportunity oleh Nadiem dan para founder GO-Jek lain untuk segera di-convert menjadi sebuah bisnis model digital yang memberikan nilai tambah. Nilai tambah bukan hanya untuk si tukang ojek, tetapi juga calon konsumennya.
Dengan hadirnya aplikasi GO-Jek, gap lokasi dan waktu serta merta dapat diselesaikan dengan cepat. Kini lewat aplikasinya, GO-Jek dapat mempersempit jarak bertemunya si pengemudi ojek dan konsumennya dengan lebih baik.
Proses yang efisien ini mengakibatkan optimalisasi produktivitas pengemudi ojek dan secara agregatif akan meningkatkan produktivitas masyarakat kota sehingga pengemudi dan konsumen GO-Jek berada dalam "hub" yang sama.
Dalam perjalanannya, GO-Jek tidak hadir langsung dengan teknologi aplikasi digital. Di awal kemunculannya, GO-Jek hadir ke market hanya dengan layanan telepon hotline.
Jelas ini merupakan masalah. Operator GO-Jek membutuhkan waktu yang sangat lama untuk merespon permintaan calon konsumen, bahkan hingga 20 menit, untuk mencari pengemudi ojek yang available.
Identifikasi atas masalah inilah yang akhirnya dapat diubah menjadi opportunity oleh managementmelalui aplikasi mobile, yang akhirnya dengan aplikasi ini pula dapat membuat lini bisnis GO-Jek menjadi lebih besar dibandingkan ketika awal pendiriannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar